Cerita Perjalanan Nasi Tutug Oncom: Dari Dapur Rakyat Jelata Hingga Meja Para Penikmat Kuliner

Jabar Tourism
2 minute read
0

Nasi Tutug Oncom (sumber : pinterest)

Di sudut tenggara Jawa Barat, tersembunyi sebuah kota yang kerap dijuluki Mutiara Priangan Timur—Tasikmalaya. Kota ini tidak hanya memesona dengan deretan perbukitan yang jumlahnya mencapai ribuan, tetapi juga menyimpan kisah budaya dan kuliner yang begitu kaya. Tak heran jika Tasikmalaya mendapat sebutan Delhi Van Java, karena lanskapnya dianggap menyerupai Delhi, India.


Namun, keelokan alam hanyalah satu sisi dari pesonanya. Tasikmalaya juga terkenal berkat Gunung Galunggung yang sempat meletus dahsyat pada 1822, serta menjadi sentra kerajinan tradisional seperti payung hias dan sandal geulis. Di balik semua itu, ada satu sajian sederhana yang begitu lekat dengan identitas kota ini—nasi tutug oncom, atau yang akrab disingkat menjadi nasi T.O.


Meski kini bisa dengan mudah ditemukan di berbagai rumah makan khas Sunda, tak banyak yang tahu bahwa nasi tutug oncom berasal dari dapur rakyat kecil. Makanan ini menjadi simbol ketahanan masyarakat kala krisis ekonomi melanda di masa Orde Baru sekitar tahun 1940-an. Kala itu, beras adalah barang mewah, dan oncom—makanan berbasis ampas tahu atau bungkil kacang tanah yang difermentasi—menjadi penyelamat.


Nama "tutug" berasal dari bahasa Sunda yang berarti "ditumbuk". Sesuai namanya, proses pembuatan hidangan ini melibatkan penumbukan oncom yang telah dikeringkan di bawah terik matahari selama sehari. Setelah itu, oncom diberi bumbu rempah sederhana seperti bawang merah, bawang putih, sedikit gula, garam, dan tak lupa kencur yang menjadi aroma khasnya. Oncom kemudian disangrai hingga matang, ditumbuk kembali, lalu dicampur dengan nasi hangat.


Paduan aroma kencur yang tajam dan rasa gurih asin dari oncom menciptakan sensasi yang begitu menggoda. Biasanya, nasi tutug oncom disajikan lengkap bersama lauk-pauk seperti ayam goreng, ikan asin, telur dadar, lalapan mentimun, dan sambal goang—cabe rawit hijau yang ditumbuk kasar dengan sedikit garam dan penyedap. Taburan bawang goreng di atasnya menjadi sentuhan akhir yang menyempurnakan cita rasa.


Meski dulu dikenal sebagai "makanan orang susah", kini nasi tutug oncom telah naik kelas. Di banyak rumah makan Sunda, seporsi nasi T.O. bisa dibanderol dengan harga yang tidak murah, terutama jika dipadukan dengan lauk pilihan dan penyajian modern. Namun di balik popularitasnya, sajian ini tetap menyimpan kenangan tentang kekuatan dan kreativitas rakyat dalam menghadapi masa sulit.


Dalam penelitiannya, Sri Mulyani dan Restu Widyana Wisma mencatat bahwa oncom—terutama yang dibuat dari bungkil kacang tanah—memiliki kandungan karbohidrat dan protein yang cukup tinggi, meskipun berbahan dasar limbah kedelai. Hanya saja, daya tahannya sangat pendek. Di suhu ruang, oncom hanya mampu bertahan satu hingga dua hari, menjadikannya bahan makanan yang harus segera diolah dan dikonsumsi.


Kini, siapa pun bisa menikmati kelezatan nasi tutug oncom—baik di rumah dengan resep sederhana, maupun langsung di Tasikmalaya yang penuh kehangatan dan keindahan. Mencicipi nasi T.O. di tengah panorama ribuan bukit hijau tentu memberi pengalaman kuliner yang tak hanya mengenyangkan, tapi juga membekas dalam kenangan. Jadi, siapkah Anda menjelajah rasa dan sejarah dalam sepiring nasi sederhana ini?

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)