![]() |
Stasiun Pangandaran (sumber : pinterest) |
Pangandaran tak hanya menyuguhkan pasir putih dan ombak yang menggoda. Di balik eloknya pantai, hijaunya perbukitan, dan jernihnya sungai yang memeluk lembah, tersimpan kisah masa lalu yang tak banyak diketahui orang. Sebuah cerita tentang rel-rel tua yang dulu mengantar para penumpang dari Banjar hingga Cijulang, melintasi desa-desa sunyi dan sawah-sawah yang kini lebih banyak dihiasi sunyi ketimbang deru lokomotif.
Jalur kereta api Banjar–Pangandaran–Cijulang dulunya menjadi nadi transportasi di wilayah selatan Jawa Barat. Dibuka untuk umum, kereta ini mengandalkan lokomotif diesel dan gerbong kayu yang sederhana, namun menjadi andalan masyarakat setempat. Sayangnya, semuanya berubah sejak letusan dahsyat Gunung Galunggung pada awal 1980-an. Asap dan abu dari perut bumi itu tak hanya menyelimuti langit Tasikmalaya, tetapi juga mengubur harapan hidup jalur kereta legendaris ini. Sekitar tahun 1982, kereta api di jalur ini berhenti beroperasi.
Seperti dituturkan Bambang Turisno, petugas Komersial Non Angkutan (KNA) PT Kereta Api Indonesia (KAI) wilayah Banjar–Cijulang, total ada 17 stasiun yang dulunya menjadi saksi lalu-lalang penumpang dan barang. Dimulai dari Stasiun Banjar, perjalanan berlanjut ke Batulawang, Banjarsari, Cangkring, Cicapar, Padaherang, Ciganjeng, hingga Tunggilis dan Kalipucang. Dari sana, rel mengular ke Stasiun Sumber, Ciputrapinggan, Pangandaran, lalu ke Cikembulan, Ciokong, Cibenda, Parigi, dan berakhir di Stasiun Cijulang.
Kini, sebagian besar stasiun itu hanya hidup dalam ingatan para warga tua atau potret-potret buram dalam album kenangan. Dari 17 stasiun yang pernah berdiri kokoh, hanya empat yang masih menyisakan jejak fisik—meski hanya berupa puing-puing yang nyaris dilupakan waktu. Keempat stasiun tersebut adalah Banjarsari, Kalipucang, Pangandaran, dan Cijulang. Sisanya sudah benar-benar menghilang, tertutup semak belukar, atau telah berganti menjadi rumah dan bangunan lainnya.
![]() |
Stasiun Cijulang (Sumber : Facebook/Tjahjono Rahardjo) |
Bangunan stasiun-stasiun itu sudah banyak yang hilang. Yang tersisa pun cuma reruntuhannya saja. Selain itu, jalur rel tua ini kini dihadapkan pada masalah lain. Di sepanjang lintasan Banjar hingga Cijulang, banyak bangunan berdiri terlalu dekat dengan bekas rel—bahkan ada yang hanya beberapa meter dari sisi rel. Menurut Bambang, secara teknis, bangunan bisa dikatakan berada di zona tidak aman jika jaraknya kurang dari 7 meter dari rel.
Bahkan ada tanah milik PT KAI yang posisinya sampai 90 meter dari rel, tapi tetap statusnya milik masyarakat. Tanah-tanah ini sebagian besar sudah disewakan ke masyarakat. Tentu tidak sembarangan—ada kontrak resmi yang mengatur penggunaan lahan, termasuk soal biaya sewa. Harga sewanya sendiri disesuaikan dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari masing-masing lokasi. Untuk lahan yang dipakai sebagai tempat tinggal, harga sewanya ditetapkan sebesar Rp 5.000 per meter. Sementara untuk lahan pertanian seperti kebun, sawah, dan kolam, tarifnya lebih ringan, yakni Rp 1.500 per meter.
Meski kereta tak lagi melintas, dan peluit lokomotif tak lagi terdengar, jejak-jejak sejarah di jalur Banjar–Pangandaran–Cijulang tetap membisikkan cerita. Cerita tentang masa ketika rel menjadi urat nadi peradaban kecil di selatan Jawa Barat. Kini, mungkin sudah saatnya kita bertanya: akankah rel-rel tua ini hanya tinggal kenangan, atau mungkinkah suatu saat akan kembali berdenyut?