Jejak Cantik dari Kelom Geulis, Warisan Kreatif dari Tasikmalaya

Jabar Tourism
3 minute read
0

Kelom Geulis Tasikmalaya (sumber : facebook/Daniel G Nugraha)

Jawa Barat bukan hanya dikenal lewat pesona alamnya yang menawan, tetapi juga melalui sentuhan tangan-tangan terampil warganya yang menghasilkan beragam karya seni dan kerajinan. Dari anyaman bambu Cianjur, batik Cirebon, hingga payung geulis yang mendunia dari Tasikmalaya—setiap sudut wilayah ini menyimpan cerita dan nilai budaya yang terwujud dalam benda-benda fungsional nan artistik. Kekayaan tradisi turun-temurun itu tak hanya menjadi identitas daerah, tetapi juga bukti bahwa kreativitas bisa tumbuh dari akar yang paling sederhana sekalipun.


Salah satu hasil kerajinan yang memikat dari tanah Pasundan adalah kelom geulis—sandal kayu khas Tasikmalaya yang dulu sempat menjadi simbol keanggunan perempuan Sunda. Di balik tampilan cantiknya yang berhias ukiran dan warna-warni menarik, tersimpan kisah panjang perjuangan para perajin yang berakar dari sebuah kampung kecil bernama Gobras. Mari kita telusuri jejak sejarah dan keunikan kelom geulis, sebuah karya yang lahir dari perpaduan budaya, kerja keras, dan rasa cinta pada keindahan.


Kelom Geulis: Dari Gobras Menuju Dunia

Menyebut nama kelom geulis, seolah kita sedang membuka lembaran sejarah budaya yang khas dari Tasikmalaya. Sandal kayu yang dulunya banyak dipakai perempuan Sunda ini, bukan sekadar alas kaki. Ia adalah karya seni yang merepresentasikan kecantikan, keanggunan, dan identitas lokal.


Kelom geulis berasal dari dua kata: kelom—yang diyakini berakar dari bahasa Belanda “kelompen” atau sandal kayu, dan geulis, kata dalam bahasa Sunda yang berarti cantik. Jika digabungkan, artinya pun menjadi “sandal kayu yang cantik.” Nama yang sederhana, namun sarat makna.


Pusat kerajinan kelom geulis berada di sebuah wilayah yang dulu dikenal dengan nama Gobras, meski kini secara administratif berubah menjadi Dusun Rahayu. Namun nama “Gobras” tetap hidup dan lebih lekat di hati masyarakat, khususnya sebagai penanda identitas sentra kerajinan ini.


Sebelum kelom geulis dikenal luas, warga Gobras sudah lebih dulu mahir membuat kelom biasa atau bakiak. Model awal kelom ini dibuat dari kayu dengan tali ban bekas di bagian atasnya. Bisa dipakai pria maupun wanita, bahkan anak-anak. Selain kelom, mereka juga membuat “gamparan”, yaitu sandal kayu khusus laki-laki dengan ciri khas penjepit di antara ibu jari dan jari kedua. Dari keterampilan membuat alas kaki inilah, benih-benih kelom geulis mulai tumbuh.


Kelahiran Sebuah Ikon Tradisional

Awal mula kelom geulis sebagai kerajinan khas Tasikmalaya diperkirakan bermula sekitar tahun 1950-an. Kala itu, seorang warga Gobras bernama Pohar—atau dalam versi lain disebut Ohir—sering bepergian ke Bandung. Diduga ia pernah bekerja di industri sandal di sana. Bersama beberapa rekan bernama Suryo, Ujer, dan Acep Umar, mereka berinisiatif menciptakan kelom mentah berbahan kayu, yang disebut bodasan. Produk ini kemudian mereka bawa ke Bandung dan ternyata diminati pasar.


Permintaan pun meningkat, terutama untuk kelom dengan hiasan ukiran. Tantangan ini justru mendorong kreativitas mereka. Mereka mulai membuat motif-motif bunga sebagai ornamen pada kelom. Ukiran sederhana itu berubah menjadi ciri khas yang disukai para pelanggan. Dari Bandung, pemasaran merambah ke Jakarta. Para pengrajin lainnya pun mulai tertarik dan berbondong-bondong mengikuti jejak para pelopor.


Menariknya, para pembuat payung geulis yang lebih dulu eksis di Tasikmalaya, banyak yang kemudian beralih membuat kelom geulis. Puncaknya, Gobras dikenal sebagai kampung pengrajin kelom geulis dan menjadikannya mata pencaharian utama masyarakat setempat. Salah satu model yang paling terkenal kala itu adalah kelom dengan ukiran motif barong, yang populer seiring tren barongsai saat itu.


Pasang Surut Kelom Geulis dan Inovasi Tanpa Henti

Pengrajin Kelom Geulis (sumber : instagram/bambang_arifianto)

Masa kejayaan kelom geulis perlahan meredup ketika produk sandal pabrikan mulai membanjiri pasar. Di tahun 1970-an, industri kelom geulis hampir mati suri. Hanya segelintir pengrajin seperti Husen yang masih bertahan. Namun titik balik terjadi pada tahun 1979, ketika seorang warga Gobras berhasil menciptakan kelom dari lembaran tripleks. Inovasi ini bukan hanya memperpanjang napas industri kelom geulis, tetapi juga membuka jalan untuk ekspor, bahkan sampai ke Belanda.


Saat ini, para pengrajin kelom geulis tidak hanya terkonsentrasi di Gobras (Dusun Rahayu), Kecamatan Tamansari, tetapi juga menyebar ke dusun-dusun lain seperti Ciledug, Nyemplong, Sukamaju, hingga Kecamatan Cibeureum.


Kelom geulis adalah bukti bahwa kerajinan tradisional bukan sekadar benda pakai, tetapi juga warisan budaya yang mencerminkan ketekunan, kreativitas, dan jati diri suatu masyarakat. Di tengah gempuran produk modern, kelom geulis tetap memikat karena ia membawa cerita—tentang keluarga pengrajin, tentang kampung kecil yang bersinar, dan tentang semangat untuk tetap berkarya dengan cara yang khas.


Melalui tangan para pengrajin yang terus melestarikan seni ini, kelom geulis tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga masa depan kerajinan lokal yang penuh potensi.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)
June 27, 2025