Menyelami Sejarah dan Pesona Cipanas Garut: Warisan Alam dari Kaki Gunung Guntur

Jabar Tourism
3 minute read
0

Pemandian Cipanas garut (sumber : google maps/Agung Gumilar)

Jika Anda pernah menginjakkan kaki di Garut, pasti nama Cipanas bukanlah sesuatu yang asing di telinga. Di balik kepulan uap hangat dan aroma belerang yang khas, tersimpan cerita panjang tentang sebuah tempat yang telah memikat hati para pelancong sejak lebih dari seabad lalu. Bukan sekadar tempat berendam air panas, Cipanas adalah potongan sejarah yang hidup—jejak masa lalu yang berpadu dengan keindahan alam dan tradisi masyarakat lokal.


Terletak di kaki Gunung Guntur yang megah, Cipanas telah menjadi destinasi unggulan sejak era kolonial Belanda. Kala itu, para wisatawan Eropa datang tidak hanya untuk menikmati kehangatan airnya, tetapi juga untuk menyusuri lanskap Garut yang dikelilingi empat gunung besar yang seolah mengapit kota dari segala penjuru. Tak heran, sejak awal abad ke-20, Cipanas menjadi magnet yang tak pernah kehilangan daya tariknya. Kini, tempat ini tetap berdiri sebagai saksi bisu tentang bagaimana alam, manusia, dan sejarah berbaur menjadi satu dalam sebuah kawasan wisata yang tidak hanya menyegarkan tubuh, tetapi juga menghangatkan ingatan.


Ketika Keindahan Alam dan Catatan Masa Lalu Bertemu

Di awal abad ke-20, Cipanas mulai muncul dalam berbagai catatan perjalanan para pelancong Barat. Salah satunya adalah M. Buys dalam In Het Hart der Preanger (1900) yang menggambarkan pengalaman perjalanannya dari Tarogong menuju Cipanas. Jalanan yang menanjak menyuguhkan panorama luar biasa: empat gunung besar saling terhubung, membingkai wilayah Garut dari arah timur hingga barat daya. Pemandangan ini tak hanya memanjakan mata, tetapi juga meninggalkan kesan mendalam bagi siapa saja yang melintasinya.


Di sepanjang jalur menuju sumber air panas, pelancong disuguhi barisan kolam pemancingan yang dibangun mengikuti kontur tanah yang menanjak. Uap tipis yang mengepul dari permukaan airnya menandakan bahwa suhu kolam cukup hangat, namun tetap aman bagi budidaya ikan. Masyarakat lokal memelihara berbagai jenis ikan seperti gurame, mas, deleg, hingga nilem—dan hasilnya dijual untuk memenuhi kebutuhan pangan sekaligus menopang ekonomi keluarga. Tak sedikit peternak ikan yang mampu meraup hingga 1.200 gulden per tahun, angka yang cukup mengesankan pada zamannya.


Sumber air panas Cipanas sendiri berasal dari lereng Gunung Guntur, tepatnya dari lima titik berbeda. Catatan Trips In The Isle of Java (1910) menyebut bahwa suhu airnya bervariasi, antara 38,9 hingga 41,9 derajat Celcius. Keberadaan mata air ini telah dimanfaatkan masyarakat sejak lama, salah satunya dengan membangun enam kamar mandi dari bambu yang dilengkapi bak batu bata, untuk menyalurkan air panas segar kepada setiap pengunjung. Tak hanya menyegarkan, air panas Cipanas juga dipercaya mampu meredakan rematik dan asam urat berkat kandungan mineral dan belerangnya. Bahkan menurut Buys, para dokter Belanda kala itu pun meyakini khasiat air Cipanas bagi kesehatan.


Namun, seperti halnya banyak tempat lain pada masa kolonial, Cipanas juga mencerminkan wajah kesenjangan sosial yang nyata. Kolam-kolam mandi dipisahkan berdasarkan ras dan golongan: orang Eropa, Tionghoa, dan Pribumi memiliki fasilitas masing-masing, dengan biaya berbeda. Orang Eropa membayar 10 sen, sedangkan Cina dan Pribumi hanya 5 sen. Yang tak memiliki cukup uang hanya bisa menikmati air panas dari pancuran bambu di luar area utama—gratis, tapi tetap terasa hangat.


Transformasi besar terjadi pada dekade 1920-an hingga 1930-an. Berdasarkan catatan Jubileum-verslag van den Regentschapsraad van Garoet (1926–1936), Cipanas mengalami peremajaan dengan pinjaman sebesar 10.000 gulden. Fasilitas ditingkatkan: kolam besar dan beberapa bak kecil ditutup ubin porselen, penginapan diperbaiki, dan pendapatan wisata pun melonjak hingga 800 gulden per bulan. Sosok-sosok penting, termasuk istri gubernur Jawa Barat J.B. Hartelust, tercatat pernah mengunjungi Cipanas pasca pemugaran ini.


Kini, lebih dari seratus tahun sejak pertama kali dicatat, Cipanas masih berdiri sebagai magnet wisata yang tak hanya menawarkan kehangatan air, tetapi juga kehangatan sejarah dan budaya. Namun di balik popularitasnya, Cipanas menghadapi tantangan yang tidak ringan: bagaimana menjaga keseimbangan antara geliat pariwisata dan kelestarian lingkungan. Jumlah wisatawan yang terus meningkat membawa dampak ekonomi, tetapi juga mengancam ekosistem dan nilai-nilai sejarah yang membentuk identitas kawasan ini.


Oleh karena itu, menjaga Cipanas berarti menjaga warisan. Tak hanya menjaga airnya tetap mengalir hangat, tapi juga merawat cerita-cerita yang pernah tertulis di atas uapnya. Sebab di tempat ini, alam bukan hanya pemandangan, tetapi juga saksi bisu dari perjalanan panjang manusia, budaya, dan waktu yang saling bersinggungan di sebuah lembah kecil di kaki Gunung Guntur.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)
June 20, 2025