Jejak Hasan Nawi, Maestro Topeng Cirebon Penjaga Warisan Budaya Abadi

Jabar Tourism
4 minute read
0

Hasan Nawi maestro Topeng Cirebon (sumber : pinterest)

Di balik lekuk gerak yang anggun dan tabuhan gamelan yang menghanyutkan, Tari Topeng Cirebon menyimpan kisah yang jauh lebih dalam dari sekadar pertunjukan. Ia adalah perpaduan antara seni tari, musik, dan peran yang menuturkan cerita-cerita kehidupan, sejarah, hingga pesan moral lewat tokoh-tokoh bertopeng. Setiap topeng yang dikenakan penari tak sekadar pelengkap visual, tetapi menjadi jendela menuju karakter manusia dengan segala tabiat dan lapisan jiwanya. Ada ketegasan dalam Tumenggung, kemarahan dalam Kelana, keluguan dalam Samba, hingga keheningan yang menenangkan dalam Panji. Setiap gerakannya seolah mengajak kita menyelami filosofi hidup ala masyarakat Cirebon yang sarat makna.


Namun, di balik panggung megah itu, tak banyak yang tahu bahwa kehidupan seni topeng Cirebon tak akan berdetak tanpa tangan-tangan setia yang terus merawatnya. Salah satu sosok sentral yang tak bisa dilepaskan dari napas seni topeng ini adalah seorang maestro topeng bernama Hasan Nawi—atau yang akrab disapa Abah Nawi. Dari tangannya, topeng-topeng khas Cirebon tak hanya dilahirkan dengan rupa yang memesona, tetapi juga ruh budaya yang tak ternilai. Cerita hidupnya bukan sekadar tentang membuat topeng, melainkan tentang dedikasi tanpa pamrih untuk menjaga warisan budaya yang nyaris tergilas zaman.


Hasan Nawi lahir pada 16 Mei 1932 di kawasan Sunyaragi, Cirebon, sebuah tempat yang tidak asing dengan nuansa budaya dan sejarah. Ia tumbuh di Kampung Mandalangan, tepat di belakang Keraton Kasepuhan, lingkungan yang kental dengan kegiatan budaya keraton. Sejak kecil, Abah Nawi sudah menyatu dengan atmosfer seni. Lingkungan tempat tinggalnya yang ramai dengan kegiatan budaya membuat bakat seninya tumbuh secara alami—tanpa sekolah seni, tanpa teori. Ia belajar dari kehidupan, dari suara gamelan yang saban hari menggema, dari para penari dan seniman keraton yang lalu-lalang di sekitar rumahnya.


Topeng Cirebon (sumber : pinterest)

Remaja Nawi adalah remaja yang aktif. Ia mulai mendalami tari topeng, memainkan gamelan, dan bahkan bermain musik tarling. Bukan hanya menari, ia juga mulai menekuni seni rupa, terutama membuat topeng. Ketertarikannya terhadap topeng dimulai dari kisah sejarah yang ia dengar tentang tari topeng di era Majapahit. Kisah tentang pemuda bernama Dipa, dari kasta paling rendah, yang menciptakan topeng-topeng sakti demi menyelamatkan putri kerajaan, menjadi inspirasi batin yang mengakar dalam dirinya. Bagi Abah Nawi, membuat topeng bukan hanya seni rupa, tetapi juga sarana penyampaian nilai dan perenungan terhadap kehidupan.


Seiring waktu, Nawi membentuk grup keseniannya sendiri. Ia bukan hanya menari, tapi juga melatih, mengelola, bahkan menciptakan sendiri properti seni untuk kelompoknya. Ia tekun membuat berbagai karakter topeng seperti Panji, Samba, Rumyang, Tumenggung, Kelana, serta tokoh bodoran seperti Aki-aki dan Pentul. Topeng-topeng ini tidak dibuat massal. Ia hanya membuatnya untuk para penari binaannya—sebuah langkah yang menunjukkan betapa ia menjaga nilai kesakralan topeng-topeng itu.


Uniknya, meski begitu berdedikasi dalam dunia seni, Abah Nawi tidak menjadikannya sebagai mata pencaharian utama. Ia bekerja sebagai pegawai negeri di Dinas Penerangan Kabupaten Cirebon hingga pensiun tahun 1988. Namun, seni tetap menjadi darah dalam nadi hidupnya. Di sela-sela kesibukan kantor, ia masih sempat menari, melukis, membuat topeng, bahkan menggarap relief Ramayana dari tembaga untuk turis asing. Salah satu tonggak penting dalam hidupnya adalah ketika seorang turis Amerika membeli dua topeng kuno peninggalan keluarganya seharga 600 dolar AS. Uang itu menjadi modal awalnya untuk menekuni kerajinan topeng secara serius.


Setelah pensiun, karier seninya melejit. Pesanan datang dari berbagai penjuru, termasuk luar negeri. Namun, popularitas ini juga membawa tantangan. Ia pernah menolak pesanan 5.000 topeng karena keterbatasan tenaga kerja dan sulitnya menemukan pengrajin yang mampu meniru detail gaya Cirebonan. Ia pun mencoba melakukan regenerasi, bahkan bekerja sama dengan pemerintah kota Cirebon untuk melatih anak-anak muda. Sayangnya, hanya segelintir yang benar-benar bisa mengikuti jejaknya. Ia dikenal keras dalam membina—karena baginya, seni adalah tanggung jawab, bukan sekadar keterampilan.


Meski demikian, kontribusinya diakui luas. Ia mengikuti berbagai pameran, seperti di Malang dan Sunyaragi tahun 2007. Tahun itu pula, pemerintah memberikan penghargaan Upakarti atas jasanya melestarikan seni budaya. Ia bahkan sempat melanglang ke mancanegara, termasuk Singapura, membawa nama Cirebon melalui topeng.


Di usia 78 tahun, tubuhnya mulai melemah. Ia dirawat di Rumah Sakit Gunung Jati dan akhirnya wafat pada 19 Februari 2010. Ia dimakamkan di Sunyaragi, tempat ia dilahirkan, seolah menggenapi perjalanan hidupnya dalam satu lingkaran utuh: dari tanah budaya ia lahir, dan ke tanah budaya pula ia kembali.


Kini, nama Hasan Nawi tak hanya dikenang sebagai maestro pembuat topeng. Ia adalah simbol perjuangan seniman sejati, yang setia merawat akar budaya meski badai zaman terus berubah. Pesannya kepada anak-anaknya sederhana namun kuat: “Lestarikan seni topeng, jangan biarkan ia punah.” Dan dalam setiap topeng yang masih menari di panggung-panggung seni, warisan Abah Nawi akan terus hidup.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)
June 2, 2025