![]() |
Soto Sadang Purwakarta (sumber : google maps/Firdaus Kholid) |
Di antara beragam kekayaan kuliner Nusantara, soto menempati tempat istimewa. Hampir setiap daerah di Indonesia punya varian soto dengan keunikan rasa dan penyajiannya. Di Kabupaten Purwakarta, ada satu nama yang melegenda dan tak lekang oleh waktu: Soto Sadang Lama.
Bagi masyarakat setempat, nama Soto Sadang bukanlah hal asing. Namun tak banyak yang tahu bagaimana kisah kuliner ini bermula hingga menjadi salah satu ikon gastronomi kota kecil ini.
Adalah Siti Fatimah, atau yang akrab disapa Ambu, sosok di balik lahirnya Soto Sadang Lama. Sekitar tahun 1974, Ambu memulai usahanya dengan membuka warung kecil di kawasan Jalan Raya Sadang—tepatnya di lokasi yang kini berada di bawah jembatan layang Sadang. Warung tersebut sederhana, hanya berdinding anyaman bambu dan papan, namun penuh dengan cita rasa dan ketulusan.
Seiring waktu, warung kecil itu mulai menarik perhatian warga. Cita rasa sotonya yang khas membuat pelanggan terus berdatangan. Saat popularitasnya meningkat, warung tersebut pun bertransformasi menjadi bangunan permanen, dan Ambu memberi nama usahanya Soto Sadang Lama, merujuk pada nama kampung tempat usaha itu berdiri.
Menurut Wawan Ernawan, anak bungsu ke-12 dari 14 bersaudara sekaligus penerus usaha keluarga ini, nama Soto Sadang mulai dikenal luas pada tahun 1977. Saat itu, belum banyak pesaing di bidang kuliner serupa, membuat usaha ibunya berkembang pesat. Kejayaan pun diraih pada era 1980-an hingga 1990-an, ketika pelanggan membludak dan warung selalu ramai.
Namun perjalanan bisnis ini tak selalu mulus. Pembangunan jembatan layang Sadang membuat lokasi warung jadi tersembunyi dan tak lagi berada di jalur utama. Dampaknya, omzet menurun drastis. Meski begitu, pelanggan setia tetap datang karena sudah terpikat dengan kelezatan sotonya.
![]() |
Soto Sadang Purwakarta Jembatan Layang |
Setelah sang ibu wafat pada tahun 1995, Wawan melanjutkan perjuangan sang ibunda. Ia bertekad menjaga keaslian resep warisan keluarga. Keunikan Soto Sadang terletak pada penggunaan rempah-rempah pilihan yang memberikan cita rasa khas dan sulit ditiru. Kini, Soto Sadang Lama hadir dalam lima varian: soto ayam, soto kaki sapi, soto babat, soto campur, dan soto daging.
“Alhamdulillah, kami masih bisa bertahan sampai sekarang. Bahkan sudah tersedia di GoFood dan pelanggan tetap terus datang,” ujar Wawan. Ia sempat mencoba membuka cabang di rest area Tol Cipularang KM 72, namun harus ditutup sementara karena pandemi Covid-19.
Tak sedikit pihak yang tertarik mengembangkan usaha ini lebih besar, termasuk pengusaha hingga anggota legislatif dari Jakarta yang menawarkan kerja sama membuka cabang-cabang baru. Namun Wawan memilih untuk tetap mempertahankan usaha ini dalam lingkup keluarga. Ia ingin menjaga kontrol atas kualitas dan rasa.
“Saya belum siap untuk franchise. Takutnya nanti rasanya berubah. Di Jakarta ada yang sudah siapkan konsep gerobak, tapi saya tolak. Saya lebih ingin membuat bumbu kemasan agar orang bisa masak sendiri dengan rasa yang sama,” jelas pria berusia 58 tahun ini.
Pandemi Covid-19 menjadi tantangan besar kedua setelah pembangunan jembatan layang. Dampaknya terasa berat, namun Wawan dan keluarganya terus bertahan demi menjaga warisan sang ibu.
“Pandemi benar-benar menghantam kami. Tapi kami terus berjuang karena ingat bagaimana orangtua kami dulu membangun usaha ini dari nol,” pungkasnya.
Jika Anda berkunjung ke Purwakarta, mencicipi Soto Sadang Lama bukan hanya soal menyantap makanan—tapi juga meresapi warisan rasa yang menyimpan kisah panjang perjuangan keluarga sederhana.